ORIENTALISME DALAM STUDI HADIST

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah: Studi Hadist

Dosen Pengampu: Imroatul Istiqomah, M.P.I

Disusun oleh: Miftahul Haq

PROGRAMSTUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS HUMANIORA

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

1438-2017


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbi-l-‘alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua selaku hambanya. Dan telah memberikan kesempatan kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Selanjutnya, tak lupa pula ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua, dan juga dosen pengampu dalam mata kuliah ini. Berkat dukungan dan bimbingannya.Dan taklupa pula,  terimakasih kepada rekan-rekan seperjuangan. Yang mana terlah membantu, baik itu secara langsung maupun tidak. Atas terselesainya makalah ini.

Semoga segala apa yang ada dalam makalah ini, mampu nantinya memberikan manfaat. Baik itu untuk penulis sendiri, maupun untuk pembaca nantinya. Amin.

Ponorogo, 20 Januari 2017

Penulis

BAB. I

PENDAHULUAN

 

1.      LATAR BELAKANG

Hadits memiliki kedudukan yang strategis dan sangat urgen dalam ajaran Agama Islam. Hal itu terjadi karena, Hadits menjadi sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Baik al-Qur’an maupun hadits merupakan wahyu, hanya saja yang pertama wahy mathluw sedang yang kedua wahy ghair mathluw. Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan. Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri telah ada dan dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad. Misalnya, kasus Umar yang mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Nabi telah menceraikan isteri-isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ‘ilmu naqd al-hadits (ilmu kritik hadits). Baik kritik matan maupun sanad.

Kajian hadits ternyata tidak hanya milik kaum Muslimin, tetapi para orientalis pun tak ketinggalan melakukan kajian tersebut. Tersebutlah nama-nama semacam Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain, yang melakukan kritik terhadap Hadits. Berbeda dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin, kritik yang mereka lakukan sungguh mencengangkan. Ignaz Goldziher, misalnya meragukan orisinalitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh dengan mengatakan: We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba menelusuri pemikiran para orientalis tersebut. Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhadditsin kontemporer, dan pengaruh pemikiran mereka dalam kajian-kajian hadits sepeninggalnya.

2.      RUMUSAN MASALAH

  1. Apa definisi dari orientalis dan orientalisme?
  2. Apa orientasi yang dimiliki orientalis terhadap hadist?
  3. Bagaimana sejarah orientalis?
  4. Apa tujuan utama dari orientalis?
  5. Siapa tokoh terkenal dari orientalis?
  6. Apa bantahan para ulama, terhadap teori-teori para orientalis?

3.      TUJUAN PENULISAN

Makalah ini disusun dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui dan memahami apa itu sebenarnya orientalis serta paham-paham yang diajarkan orientalis tentang ilmu hadist, serta bahaya-bahaya yang ditimbulkan darinya. Sehingga kita bisa lebih memahami dan mengerti, mana yang merupakan paham yang lurus/benar, serta mana paham yang bersumber dari barat dan bersifat merusak keimanan.

 

BAB. II

PEMBAHASAN

1.      ORIENTALIS

  1. Pengertian Orientalisme

Orientalis/Orientalisme menurut segi bahasa berasal dari kata orient yang berarti timur, dengan demikian orientalis berarti hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran/dunia timur. Kata Orientalisme adalah kata yang dilabelkan kepada sebuah studi/penelitian yang dilakukan selain orang timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik dalam bidang bahasa, agama, sejarah, dan permasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa timur.

Menurut H.M. Yoesoef Sou’yb orientalisme berasal dari kata orient  dalam bahasa Prancis yang secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Dan kata ini memasuki berbagai bahasa di eropa temasuk bahasa inggris, oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat timur yang sangat sangat luas ruang lingkupnya. Suku kata isme (belanda) atau ism (inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi orientalisme adalah suatu paham atau penelitian studi yang mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa timur beserta lingkungan dan peradabannya.

  1. Pengertian Orientalis

Orientalis adalah sekelompok atau golongan yang berasal dari bangsa-bangsa barat (eropa) yang berkonsentrasi atau memfokuskan diri dalam mempelajari kajian ketimuran, khususnya dalam hal keilmuan, peradaban dan agama, terutama pada Negara Arab, Cina dan India.

Secara sederhana kata orientalis bisa diartikan “seorang yang melakukan kajian tentang masalah-masalah ketimuran, mulai dari sastra, bahasa sejarah antropologi, sosiologi, psikologi sampai agama dengan menggunakan paradigma konklusi yang distortif tentang objek kajian yang dimaksud.

  1. Sejarah Orientalis

Tidak diketahui secara pasti kapan mulai munculnya orientalis, tetapi bisa diperkirakan bahwa orientalis muncul pada saat umat muslim mencapai puncak kegemilangan prestasi peradabannya khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Banyak orang-orang barat yang belajar pada ulama dan cendekiawan muslim pada saat itu terutama di wilayah Kepulauan Laut Putih (Andalusia) dan Sicilia daerah Eropa yang menjadi wilayah kekuasaan umat muslim. Dan banyak diantara mereka adalah pendeta-pendeta agama Nashrani dan Yahudi. Mereka adalah :

  • Pendeta Gerbert, dia terpilih sebagai pemimpin gereja roma pada tahun 999 M. selepas belajar di berbagai perguruan tinggi di Andalusia (Spanyol)
  • Pendeta Petrus (1092-1156)
  • Pendeta Gerrardi Krimon (1114-1187 M.)

Setelah kembali kenegaranya, meraka mengajarkan kepada masyarakat Eropa dan menyebarkan kebudayaan Arab serta menterjemahkan buku-buku karya ulama-ulama muslim.

Mereka merasa bahwa Islam adalah pembelot dari agama mereka dan juga suatu ancaman bagi agama masehi sendiri. Maka dari itu mereka berusaha untuk mempelajari islam guna untuk menghancurkan dan melemahkannya. Mereka berusaha dengan gigih untuk mengetahui tentang seluk-beluk islam lebih mendalam dengan tujuan untuk menghancurkan islam dari dalam. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa sejarah orientalisme pada fase awal adalah sejarah tentang pergulatan dan pertarungan agama dan ideologi antara bangsa barat yang diwakili oleh agama Nashrani dan Yahudi dengan bangsa timur yang diwakili oleh para penganut agama Islam. Menurut R.W. Southern “Islam merupakan problema masa depan dunia Barat Nasrani secara keseluruhan di Eropa”.

Disamping hal diatas pecahnya Perang Salib (The Crusades) antara umat Islam dan umat Nashrani secara khusus menjadi sebab pemicu bagi orang-orang Eropa untuk melakukan kajian terhadap dunia Islam. Perang salib adalah suatu tragedi dahsyat yang tak pernah dilupakan oleh siapapun. Perang antara dua kekuatan besar yakni islam dan kristen dengan delapan gelombang penyerbuan terhadap umat islam selama hampir dua abad (1096-1270 M), dan berahir dengan kekalahan dan kehancuran kekuatan Dunia Barat (Kristen) sehinnga menyebabkan kemarahan besar dan dendam yang membara bagi bangsa-bangsa barat untuk menghancurkan Islam.

  1. Tujuan Orientalis

Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa tujuan para orientalis mempelajari semua hal tentang semua hal yang berkaitan dengan dunia timur islam hususnya yakni untuk melemahkan dan menghancurkan islam dari dalam melalui para pemeluknya sendiri.

Diantara tujuan pokok gerakan orientalisme selain yang telah kami paparkan diatas ialah sebagai berikut :

  1. Memurtadkan kaum muslim dari agamanya sendiri, dengan cara memutus dan memecah belah persatuan umat kepada kelompok-kelompok atau golongan yang saling membenci satu sama lain.
  2. Melemahkan rohani umat islam dan menciptakan perasaan selalu kekurangan dalam jiwanya, dan kemudian membawa mereka kepada sikap pasrah dan tunduk kepada kehendak serta arahan orang-orang Barat.
  3. Mendistorsi ajaran islam dengan cara menutup-nutupi kebaikan dan kebenaran ajarannya, supaya masyarakat awam menganggap bahwa islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
  4. Mendukung segala bentuk penjajahan terhadap negara-negara islam dan melaksanakan segala bentuk perlawanan terhadap islam itu sendiri.
  5. Memisahkan kaum muslim dari akar-akar kebudayaan Islam.

2.      STUDI HADIST

Studi Hadist atau disebut juga dengan Ulumu-l-hadist adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi ulama hadits. ‘Ulum al-hadist terdiri dari 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-hadist di kalangan Ulama hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqrir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadits nabi sholallahu ‘alaihi wasallam”.

Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: “ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya”. Menurut Izzudin Ibnu Jamaah: “Ilmu hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dasar untuk mengetahui keadaan suatu sanad atau matan (hadits)[1]

3.      PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HADIST

Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama islam, khususnya hadits, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa, tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah  sebuah anomali dari sekelompaok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan hanafi untuk membalas perlakuan mereka dengan giliran balik menyerang kebuadayaan barat dengan cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam.

Mereka memilih hadits dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadits yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadits adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadits ketimbang al Quran, karena hadits hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al Quran karena al Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadits.

  1. Aspek Perawi Hadits.

Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. Seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadits tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas. Suatu jumlah yang fantastis yang sangat jauh dengan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh para khulafaur rasyidin yang kalau digabung bahkan tak mencapai 3500 hadits.

Kritikan para orientalis banyak ditujukan kepada Abu hurairah dan Sayyidah Aisyah, dua sahabat periwayat hadits paling banyak. Abu hurairah dikecam karena pertentangannya dengan para sahabat mengenai kesalahannya dalam periwayatan hadits, seperti yang diutarakan oleh Abu bakar :

Kalau saja saya mau, saya bisa menceritakan semua hal yang pernah saya ketahui bersumber dari rasulullah dan berita dari sahabat yang lain tentang diri beliau, mungkin ini akan menghabiskan waktu berhari-hari, namun saya takut apa-apa yang saya sampaikan nantinya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi entah kenapa orang itu (Abu hurairah) tiada berhenti bercerita tentang nabi seakan-akan dia mengetahui segala hal tentang Nabi.

  1. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW.

Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadits dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.

  1. Aspek Pengklasifikasian Hadits.

Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomery watt, salah seorang orientalis ternama saat ini :

Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil.

4.      TOKOH ORIENTALIS DAN TEORI TEORINYA

  1. Ignaz Goldziher

Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.

Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.

Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.

Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri.

Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.

Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.

Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat luas terhadap seluruh kajian-kajian tentang Islam. Pengaruhnya bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dengan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.

  1. Joseph Schacht

Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. Dan para sahabat adalah palsu. Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:

  1. Teori Projecting Back

Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum Islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.

  1. Teori E Silentio

Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.

  1. Teori Common Link

Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.

Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.

  1. Jyunboll

Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba……” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.

Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.

Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.

5.      BANTAHAN PARA ULAMA’ MENGENAI TEORI DALAM HADIST

  1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher

Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.

Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.

Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.

Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.

  1. Bantahan untuk Josep Schacht

Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.

Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.

Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.

Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.

Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.

Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.

  1. Bantahan untuk Jyunboll

Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.

Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.

BAB. III

PENUTUP

1.      KESIMPULAN

Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadits, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. Kita harus berterimakasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran  bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.

Salah satu cara orientalis dalam meragukan otentisitas hadits adalah dengan menuduh para ulama Hadits kurang memperhatikan aspek matan dalam metodologi penelitiannya dan menuduh penelitian Hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya.

Sebuah kekeliruan besar apabila para orientalis menuduh penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan. Adapun, kenapa di zaman modern ini (bukan Zaman Klasik), Kritik Matan dan Ilmu Ilal berkurang kadar kajiannya? Jawabannya jelas. Pertama, karena mayoritas hadits-hadits yang ada sudah terseleksi semuanya secara sanad maupun matan dengan sangat cermat oleh para pakar tersebut. Dan kedua, karena untuk menghasilkan kajian yang verified dalam bidang ini, dibutuhkan penenuhan kriteria dan parameter-parameter yang cukup berat dan tidak sembarangan.

Bahwa ketekunan dan minat/gairah intelektual para orientalis untuk mempelajari hadits patut untuk direspon dengan baik. Hanya saja niat dan tujuan mereka yang jahat itulah yang patut diwaspadai. Keseluruhan ulama pendukung hadits, yakin bahwa kajian-kajian islam (terutama al-hadits) yang dilakukan oleh orientalis tidak dimaksudkan kecuali dengan tujuan meragukan dan menyanggah kebenaran dasar-dasar syari’at islam.Oleh karena itu umat islam dituntut untuk terus mengkaji dan mengembangkan studi yang lebih intensif dan metodologis dalam rangka mempertahankan serangan-serangan dari fihak di luar Islam dan sekaligus mengembangkan pemahaman-pemahaman baru yang bisa lebih diterima oleh pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab.

2.      SARAN

Demikian lah pembahasan tentang orientalis dalam hadist. Semoga dapat memberikan pelajaran yang baik kepada penulis maupun pembaca. Agar kedepannya, dapat lebih bisa mempelajari seluk-beluk hadist dan mengamalkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Dr. Syamsyuddin. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Cetakan pertama. Hal 27-44. Gema Insani; Jakarta.

https://elmisbah.wordpress.com/persepsi-orientalis-terhadap-hadits/ 01/16/2017 21:02

http://luckysetiania.blogspot.co.id/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html  01/16/2017 21:20

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Ulum_hadis. [21/01/2017:14.00]

Leave a comment